Pers adalah perwujudan public soverignty terhadap kekuasaan. Fungsi
kontrol pers meliputi mengkritik, menilai dan menyampaikan kepada publik
agar semua kegiatan berbagai cabang kekuasaan sesuai dengan kehendak
dan harapan publik. Kebebasan pers dibatasi oleh Undang-Undang Pers dan
Kode Etik. Kebebasan pers tidak dapat digunakan untuk mempermalukan,
melecehkan, atau mencampuri proses peradilan. Pers harus menghormati
lembaga dan independensi peradilan.
Untuk menjaga martabat dan kehormatan peradilan tidak semata
menggunakan pendekatan melalui mekanisme hukum pidana, melainkan
juga diperlukan pendekatan melalui mekanisme civil contempt of court dan
ethical contempt of court secara integral.
Peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup di Indonesia cukup
banyak dan tersebar dalam berbagai peraturan. Tetapi tampaknya peraturanperaturan tersebut berdiri sendiri, tidak ada aktivitas dan efektivitasnya.
Cara pengelolaan lingkungan hidup yang tidak terencana dan tidak terpadu
secara serasi dan integral menyebabkan perusakan dan pencemaran
lingkungan. Hukum Islam memiliki prinsip-prinsip yang wajib menjadi
landasan dan titik tolak aktivitas kekuatan-kekuatan sosial agar terjamin
kehidupan yang teratur, seimbang, dan harmonis sehingga tidak terjadi
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang menyebabkan hilangnya
keseimbangan dan keserasian kehidupan di dunia ini. Diantara prinsipprinsip tersebut yaitu persamaan, keseimbangan, kemaslahatan, kegotongroyongan dan keadilan. Melalui implementasi prinsip-prinsip tersebut
diharapkan aturan tentang lingkungan hidup yang telah ditetapkan itu dapat
berjalan sebagaimana mestinya.
UU Contempt of Court sudah saatnya disusun agar dapat menjamin
kewibawaan dan martabat badan peradilan serta proses penegakan hukum.
Mahkamah Agung berupaya meningkatkan pembinaan kualitas kinerja
hakim dan pejabat administratif peradilan
UU tentang Penghindaan dalam Persidangan perlu segera dibentuk disertai
restriksi terhadap perbuatan mana yang termasuk penghinaan dalam
persidangan dan perbuatan mana yang tidak. Para hakim wajib
meningkatkan profesionalisme dan integritas pribadi dalam menjalankan
tugas dan kewajibannya
UU Contempt of Court perlu dibuat dalam UU tersendiri. Tetapi menunggu
atau setidak-tidaknya dilakukan serta merta dilakukannya perubahan sistem
hukum yang komprehensif dan peningkatan profesionalitas hakim, jaksa,
polisi, advokat, wartawan serta penyuluhan intensif kepada masyarakat
pencari keadilan.
UU Contempt of Court merupakan kebutuhan yang bersifat urgent, segera
dan mendesak, sehingga perlu dilakukan kajian dan penelitian secara kritis,
akademis dan bersifat komprehensif untuk menjaga keluhuran dan
menegakkan martabat dan wibawa peradilan.
Telah terjadi pergeseran paradigma dari hak yang dirugikan disejajarkan
dengan kepentingan tanpa memerinci syarat-syarat kerugian hak menjadi
kerugian pemohon yang harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu : (a). adanya
hak pemohon yang diberikan oleh peraturan Perundang-undangan; (b). hak
tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya peraturan
Perundang-undangan yang dimohon pengujian; (c). kerugian tersebut harus
bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial; (d). adanya
hubungan kausalitas; (e). kemungkinan dengan dikabulkannya maka
kerugian tidak akan terjadi lagi.
Pemanfaatan teknologi informasi oleh Mahkamah Agung bertujuan
mendorong peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelesaian perkara yang
salah satunya diindikasikan dengan pengikisan tunggak perkara. Namun
ternyata penggunaan teknologi informasi masih menitikberatkan upaya
pencatatan elektronis saja. Teknologi belum dioptimalkan secara maksimal
untuk meningkatkan kinerja badan peradilan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 telah membuka ruang
PK tidak saja satu kali sebagaimana diatur selama ini oleh Pasal 268 ayat (3)
KUHAP sehingga PK dapat dilakukan berkali-kali selama ditemukan dan
diajukannya novum meskipun telah dilakukan PK sebelumnya. Perspektif
yang menjadi dasar dari putusan ini adalah keadilan. Menanggapi Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No.
7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam
Perkara Pidana. Melalui SEMA tersebut Mahkamah Agung mengingatkan
bahwa ketentuan PK hanya sekali di luar Pasal 268 KUHAP yang
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, oleh karenanya PK perkara pidana
(dalam suatu perkara yang sama) yang lebih dari 1 (satu) kali dinyatakan
tidak dapat diterima. Pembatasan PK perkara pidana yang dikehendaki
Mahkamah Agung ini untuk memberikan kepastian hukum dalam proses
penyelesaian akhir perkara pidana. Pemerintah melalui Menteri Hukum dan
HAM mengambil langkah strategis bervisi kemanfaatan hukum dalam
menyelesaikan polemik upaya hukum pengajuan PK perkara pidana, dengan
mengkoordinasikan lembaga negara dan kementerian terkait sehingga
menghasilkan kesepakatan bahwa pengajuan PK berkali-kali tidak bisa
dijalankan hingga terbitnya PP. Oleh karenanya masih berlaku yang diatur
dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang
Mahkamah Agung.